Selasa, 16 Oktober 2012

Variasi Somaklonal Kacang Tanah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Kebutuhan akan komoditas pertanian akan terus bertambah, sebagaimana permintaan pasar dan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Upaya peningkatan produksi pangan telah dilakukan dengan perluasan lahan, serta penggunaan varietas yang unggul yang mana diharapkan dapat menghasilkan produk yang dari segi kuantitas baik serta dari segi kualitas juga baik. Dalam hal ini bioterknologi pertanian sangat berperan dalam penciptaan varietas yang unggul dan tahan terhadap cekaman lingkungan.
Pada saat ini sangat sulit mencari sumber gen ketahanan terhadap cekaman
abiotik dari tanaman yang sejenis. Untuk meningkatkan keragaman genetik pada
tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dapat memanfaatkan teknik variasi somaklonal  dan induksi mutasi. Perubahan sifat genetik yang dihasilkan dengan
metode ini sangat beragam. Untuk mengarahkan perubahan sifat ke arah yang
diinginkan dapat digunakan metode seleksi in vitro (Yunita, 2009).
Salah satu contoh produk bioteknologi yang bermanfaat dalam pengadaan varietas tahan cekaman adalah kultur in vitro, dimana setelah adanya kultur in vitro akan menciptakan keragaman somaklonal atau biasa dikenal dengan variasi somaklonal. Variasi somaklonal ini pertama kali diperkenalkan oleh oleh Larkin dan Scowcorf (1989), yang mendefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun sel gamet. Dari keragaman ini akan diadakan seleksi in vitro, dimana akan dihasilkan tanaman yang diharapkan benar-benar tahan atau resisten terhadap bakteri tertentu atau lingkungan yang buruk sekalipun.

1.2.   Manfaat
1.      Mengetahui definisi kultur jaringan dan segala hal yang berhubungan dengan kultur jaringan
2.      Mengetahui definisi dari variasi somaklonal dan proses terjadinya variasi somaklonal pada kacang tanah
3.      Mengetahui tahapan seleksi in vitro pada kacang tanah
4.      Mengetahui  Sclerotium Rolfsii dan layu Fusarium pada kacang tanah
1.3.   Tujuan
1.      Dapat menjelaskan teknik kultur in vitro, khususnya pada tanaman kacang tanah
2.      Dapat menjelaskan proses terjadinya variasi somaklonal pada kacang tanah
3.      Dapat menjelaskan tahapan seleksi in vitro pada kacang tanah
4.      Dapat mengidentifikasi dua gangguan pada kacang tanah yaitu Sclerotium Rolfsii dan layu Fusarium

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1   Definisi Kultur  Jaringan
            Menurut  Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture weefsel callus atau geweb culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka kultur jaringan dapat diartikan sebagai pembudidayaan  suatu tanaman dengan menggunakan jaringan tanaman tersebut yang mana akan memiliki sifat seperti induknya.  
Kultur akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan  jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum memiliki penebalan dari zat pectin. Kebanyakan orang menggunakan jenis jaringan ini, karena masih aktif membelah, sehingga diperkirakan memiliki hormone yang mengatur pembelahan.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan ini berdasarkan teori sel seperti yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann, yaitu sel memiliki kemampuan autonom, bahkan memiliki kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, bila diletakkan dalam media atau lingkungan yang sesuai  akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Suryowinoto, 1991).
Teknik kultur jaringa akan berhasil dengan baik bila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai , bahan dasar untuk pembentukan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptic dan pengaturan udara yang baik terutama untuk media cair.
2.2  Variasi Somaklonal
Variasi somaklonal pertama kali dikemukakan oleh Larkin dan Scowcroft (1981) dalam Kadir (2007), yang didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun sel gamet. Skirvin et al. (1993) mendefinisikan variasi somaklonal sebagai keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Variasi tersebut dapat berasal dari keragaman genetik eksplan yang digunakan atau yang terjadi dalam kultur jaringan. Variasi somaklonal yang terjadi dalam kultur jaringan merupakan hasil kumulatif dari mutasi genetik pada eksplan dan yang diinduksi pada kondisi in vitro. Tidak seperti yang biasa terjadi pada persilangan, dimana keragaman timbul karena segregasi ataupun rekombinasi gen, pada variasi somaklonal keragaman terjadi akibat adanya penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah kromosom (tagging dan nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen, dan perubahan sitoplasma ( Kumar dan Mathur, 2004).

Tabel 1. Beberapa perubahan sifat pada tanaman hasil variasi somaklonal.
Tanaman
Perubahan sifat
Sumber
Anggur
Menjadi tanaman tetraploid
Kuskova et al. (1997)
Bawang
Peningkatan ploidi
Do et al. (1999)
Mawar
Perubahan kelopak dan warna bunga
Handayani et al. (2002)
Kedelai
Toleran lahan masam
Mariska et al. (2004)
Padi
Toleran kekeringan
Lestari et al. (2005)
Pisang
Tahan penyakit fusarium
Mariska et al. (2006)
Nilam
Toleran kekeringan
Kadir (2007)
(Yunita, 2009)
Variasi somaklonal merupakan perubahan genetic yang bukan disebabkan oleh segregasi atau rekombinasi gen, seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan. Thrope (1990) menggunakan istilah pre-existing cellular genetic, yaitu keragaman yang diinduksi oleh kultur jaringan. Keragaman ini dapat muncul akibat penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah kromosom (tagging dan nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen, dan perubahan sitoplasma (Kumar dan Mathur 2004).
Variasi somaklonal dapat dikelompokkan menjadi keragaman yang diwariskan (heritable), yaitu yang dikendalikan secara genetik, dan keragaman yang tidak diwariskan, yakni yang dikendalikan secara epigenetik. Keragaman somaklonal yang dikendalikan secara genetik biasanya bersifat stabil dan dapat diturunkan secara seksual ke generasi selanjutnya. Keragaman epigenetik biasanya akan hilang bila diturunkan secara seksual (Skirvin et al. 1993).
Dengan demikian, variasi somaklonal sangat memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa sifat yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dimiliki oleh tanaman induk. Dalam perbanyakan secara in vitro, yang terjadi adalah mutasi somatik. Sel  yang bermutasi saat membelah akan membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan sel asalnya. Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya.

2.3  Seleksi In Vitro
Keragaman genetik yang ditimbulkan oleh variasi somaklonal dan induksi mutasi bersifat acak. Untuk mengidentifikasi keragaman somaklonal maupun induksi mutasi ke arah perubahan yang diinginkan, dapat digunakan teknik seleksi in vitro. Pada teknik in vitro, seleksi ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas dapat digabungkan dalam media kultur in vitro dan digunakan untuk menumbuhkan varian somaklon yang diperoleh. Tanaman hasil regenerasi jaringan pada kultur in vitro kemungkinan akan mempunyai fenotipe yang toleran terhadap kondisi seleksi.
Seleksi in vitro lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen, tempat yang dibutuhkan relatif sedikit, dan efektivitas seleksi tinggi. Oleh karena itu, kombinasi antara induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro merupakan alternatif teknologi yang efektif dalam menghasilkan individu dengan karakter yang spesifik (Kadir 2007). Penggunaan teknik in vitro akan menghasilkan populasi sel varian melalui seleksi pada media yang sesuai. Intensitas seleksi dapat diperkuat dan dibuat lebih homogen. Populasi jaringan atau sel tanaman dapat diseleksi dalam media seleksi sehingga akan meningkatkan frekuensi varian dengan sifat yang diinginkan (Specht dan Greaf 1996; Biswas et al. 2002).



2.4  Kacang Tanah (Arachys hypogaea L. Merr.)
Kacang tanah (Arachys hypogaea L. Merr.) umumnya ditanam petani di lahan kering/tegalan dan tadah hujan serta lahan bukaan baru pada musim hujan maupun di awal musim kemarau (70%) dan selebihnya (30%) ditanam di lahan sawah beririgasi pada musim kemarau setelah padi. Pengolahan hasil kacang tanah akan memberikan nilai tambah secara ekonomi. Kacang tanah dimanfaatkan untuk bahan pangan, industri, dan pakan.
Kacang tanah mengandung lemak  45% dan protein 27%. Hampir sebagian besar produksi kacang tanah digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan, seperti bumbu , biskuit, kacang asin, minyak nabati, saus, selai, susu, dan pakan ternak. Beberapa industri yang menggunakan bahan baku kacang tanah dapat dikategorikan sebagai industry pangan dan industri pakan.

2.5  Sclerotium Rolfsii dan Layu Cendawan Fusarium sp
Sclerotium rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan beberapa penyakit mematikan pada tanaman seperti busuk batang, layu dan rebah kecambah. Jamur ini merupakan jamur tular tanah yang dapat bertahan lama dalam bentuk sklerotia di dalam tanah, pupuk kandang, dan sisa-sisa tanaman sakit. Di samping itu, jamur tersebut dapat menyebar melalui air irigasi dan benih pada lahan yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman inang dari Sclerotium rolfsii tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya produksi tanaman yang akan dipanen (Timper et al. 2001).
Selain menyerang tanaman kacang tanah, S. rolfsii dapat juga menyerang tanaman lain seperti kentang, tomat, kedelai, kubis-kubisan, bawang, seledri, jagung manis, selada, kapas, tembakau, dan tanaman dari famili Cucurbitaceae (Agrios 1997). Perbedaan karakteristik jamur Sclerotium rolfsii pada beberapa tanaman inang meliputi diameter koloni, kecepatan pertumbuhan miselia, ukuran dan warna sklerotia (Okabe et al. 1998; Sarma et al. 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengamati karakteristik dan bentuk perkecambahan dari jamur Sclerotium rolfsii pada tanaman inang kacang tanah.
Gambar 1. Bagian daun kacang tanah yang terkena Sclerotium Rolfsii
Gambar 2. Bagian batang yang terinfeksi  Sclerotium Rolfsii
Gambar 3. Bagian buah kacang tanah yang terinfeksi Sclerotium Rolfsii
  Salah satu penyakit serius pada kacang tanah adalah penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium sp. Serangan cendawan fusarium dapat meyebabkan pengurangan hasil sampai mencapai 70% (Hartman et al., 1995). Cendawan ini merupakan cendawan tertular tanah (soil borne) dan mampu bertahan hidup cukup lama di dalam tanah dan berkolonisasi. Usaha tani kacang tanah yang biasa dilakukan di lahan kering menyebabkan sulitnya diterapkan sistem pengairan, sehingga inokulum cendawan sulit dihilangkan pada usaha tani lahan kering, sehingga inokulum selalu berada sepanjang musim tanam. Serangan patogen ini dapat menyebabkan penurunan produksi dan gagal panen.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1  Varian Somaklonal Kacang Tanah Resisten Sclerotium Rolfsii Hasil  Seleksi In Vitro Menggunakan Filtrat Kultur Cendawan
Kemungkinan untuk menginduksi variasi somaklonal di antara tanaman yang diregenerasikan secara kultur sel  dan jaringan menimbulkan minat yang cukup tinggi sebagai salah satu cara untuk menciptakan keragaman. Beberapa  penelitian terdahulu menunjukkan bahwa teknik tersebut telah berhasil digunakan untuk mendapatkan plasma nutfah  yang toleran atau resisten terhadap penyakit tertentu (Daub, 1986; Hammerschlag, 1992).
Busuk batang Sclerotium  merupakan salah satu penyakit pada tanaman kacang tanah, yang seringkali  menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi. Penyakit ini yang menyebabkan kebusukan pada pangkal batang kacang tanah dan seringkali menyebabkan kematian  atau kerusakan yang parah. Cendawan patogen penyakit ini mempunyai inang yang beragam dan dapat membentuk sklerosia yang mampu bertahan hidup di dalam tanah dalam waktu lama (Punja et al, 1985). Untuk itu dilakukan upaya untuk mendapatkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran atau resisten terhadap busuk batang Sclerotium melalui induksi keragaman somaklonal dan seleksi in vitro menggunakan filtrate kultur S. Rolfsii.
Dalam penelitian ini, kalus embriogenik yang telah dipelihara selama kurang lebih satu tahun dalam media regenerasi dikulturkan dalam medium MS (Murashige & Skoog, 1962) dengan penambahan 30% filtrate kultur S. rolfsii, dan ES yang terbentuk setelah tiga periode seleksi in vitro  masing-masing selama satu bulan, dianggap sebagai insensitive terhadap filtrate kultur cendawan.
Sejumlah galur kacang tanah R0 telah diregerasikan dari embrio somatic yang insensitive terhadap filtrate kultur cendawan, dan zuriat R1 dan R2 telah ditanam dirumah plastic dan dievaluasi untuk berbagai karakter kualitatif dan kuantitatifnya. Evaluasi untuk resistensi terhadap infeksi S. rolfsii juga dilakukan secara dini pada galur-galur somaklon generasi R0, yang mengindikasikan ketahanannya bila dibandingkan dengan populasi kacang tanah awal.
                 Dari hasil seleksi in vitro 1500 clump kalus embriogenikl menggunakan 30% filtrate kultur cendawan, telah didapatkan sebanyak kurang lebih 1-2 ES insensitive filtrate kultur cendawan pada sekitar 300 clump. Untuk pemulihan dan proliferasinya, ES hasil seleksi in vitro  ditransfer ke media MS dengan penambahan pikloram 16 1M (P16). Selanjutnya, maturasi dan pengecambahan ES dilakukan dengan mentransfer ke media MS dengan penambahan arang aktif 2 g I-1  (MSAC) selama dua periode pengkulturan, masing-masing satu bulan. Untuk merangsang pertumbuhan epikotil dan pemanjangan tunas, ES yang berkecambah dipotong akarnya dan ditanam kurang lebih 2 minggu dalam medium MS dengan penambahan kombinasi BAP 2 mg I-1 dan kinetin 2 mg I-1 .
                 Untuk mendapatkan planlet, tunas ditanam kembali dalam media MSAC hingga berakar. Aklimatisasi planlet dilakukan secara bertahap dengan menanamnya di pot plastic berisi campuran pasir dan arang sekam steril (1:1, v/v) yang disungkup dengan kantong  plastic, hingga mampu bertahan hidup di rumah plastic. Tanaman R0 yang mampu bertahan hidup dari tahapan aklimatisasi selanjutnya ditanam dalam polybag dengan ukuran 45 cm x 45 cm yang berisi 10 kg campuran tanah:pasir:kompos   (1:1:1, v/v) dan dipelihara dalam rumah plastic. Penyiraman, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan hingga tanaman dapat dipanen. Benih R0:1 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomor tanaman R0 dan dikeringkan.
                 Tanaman R1 ditumbuhkan dari benih R0:1 zuriat dari 25 tanaman R0 yang masing-masing diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro. Dari setiap nomor tanaman R0 ditanam 1 hingga 20 tanaman R1 zuriatnya, bergantung dari jumlah polong bernas yang dihasilkan sebelumnya. Penanaman benih R0:1 dirumah plastic dan pemeliharaanya dilakukan di polybag sebagaimana dijelaskan sebelumnya untuk tanaman R0. Tanaman R1 dipelihara hingga panen,  dan benih R1:2 yang dihasilkan dipanen secara terpisah dari masing-masing nomor tanaman R1, kemudian dikeringkan dan pada musim berikutnya ditanam di rumah plastic sebagaimana tanaman R1.
                 Tanaman R2 ditumbuhkan dari benih R1:2, zuriat dari masing-masing nomor tanaman R1 terpilih. Dari setiap tanaman R1 dipilih satu nomor yang menghasilkan polong bernas paling banyak, dan dari masing-masing nomor R1 tersebut ditanam minimal 10 tanaman R2. Tanaman R2 ditumbuhkan di rumah plastic dengan cara dan pemeliharaan sebagaimana dijelaskan pada tanaman R0 dan R1. Tanaman R2 dipelihara hingga panen, benih R2:3 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomor tanaman R2, lalu dikeringkan.
                 Tanaman kacang tanah cv. Kelinci (tanaman awal) yang tidak melalui tahapam seleksi in vitro ditumbuhkan dari benih di rumah plastic menggunakan polybag dengan media tumbuh dan cara pemeliharaan yang sama dengan sebelumnya. Tanaman awal tersebut digunakan sebagai pembanding untuk tanaman R0. Sebagai pembanding untuk tanaman R1 dan R2, ditanam zuriat pertama dan kedua tanaman awal dengan cara pemeliharaan dan dalam lingkup yang sama.
                 Cendawan S. rolfsii yang virulensinya telah diuji, diisolasi dari tanaman kacang tanah terinfeksi Sclerotium. Cendawan diperbanyak dalam media potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasi dalam ruang bersuhu 260 C selama 6-7 hari, sehingga mempunyai koloni hifa yang tebal tetapi belum membentuk sklerosia. Hifa dari kultur cendawan dalam media PDA padat seluas 1 cm2 digunakan sebagai inoculum untuk menginokulasi tanaman kacng tanah generasi R1 dan R2. Tanaman somaklon  R1 dan R2 dan tanaman kacang tanah cv. Kelinci awal sebagai control diinokulasi pada umur 4 minggu setelah tanam. 
                 Dari pengamatan karakter kuantitatif setelah inokulasi S. rolfsii, semua tanaman somaklon yang diinokulasi menunjukkan gejala penyakit dengan tingkat keparahan yang berbeda antara skor 1 sampai 5, sedangkan semua tanaman awal yang diinokulasi mati (skor 5). Baik tanaman awal maupun somaklon yang tidak diinokulasi tidak menunjukkan gejala penyakit (skor 0). Secara umum gejala mulai muncul pada pangkal batang yang diinokulasi 5-8 hari setelah inokulasi.
3.2  Ketahanan Beberapa Galur Kacang Tanah Hasil Kultur  In Vitro Terhadap Penyakit Layu Cendawan Fusarium sp
                 Penelitian  ini  bertujuan  untuk  mengetahui  ketahanan  beberapa  galur  kacang  tanah  hasil  kultur  in vitro terhadap penyakit layu Fusarium sp.  Seleksi in vitro diawali dengan menginduksi embrio somatik (ES) dan  variasi  somaklonal  kacang  tanah  cv.  Lokal  Bima.    Seleksi  in  vitro  untuk  ketahanan terhadap  penyakit layu fusarium dilakukan pada populasi ES dengan media selektif yang  mengandung filtrat kultur Fusarium sp.  Setelah  dilakukan  seleksi  in  vitro,  diperoleh  populasi  ES  yang  insensitif terhadap  media  filtrat  kultur.
Embrio  somatik  insensitif  ini  dikecambahkan  dan  menghasilkan  planlet.  Planlet-planlet  ini  ditanam  untuk memproduksi  tanaman  generasi  R1  dan  R2.    Tanaman  generasi  R2  inilah  yang  akan  dievaluasi  ketahanannya terhadap penyakit layu cendawan Fusarium sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  kultur in vitro telah mampu meningkatkan ketahanan tanaman kacang tanah cv Lokal Bima dari rentan menjadi agak resisten terhadap penyakit layu cendawan Fusarium sp. Galur GFK 10 menunjukkan agak resisten terhadap infeksi cendawan Fusarium sp dan menghasilkan jumlah polong kering terbanyak 13.5 polong per tanaman dan  polong kering terberat 786.5 g/1.1 m2.
Salah  satu  penyakit  serius  pada  kacang tanah  adalah  penyakit  layu  yang  disebabkan  oleh Fusarium  sp.  Serangan  cendawan  fusarium  dapat meyebabkan  pengurangan  hasil  sampai  mencapai 70%  (Hartman  et  al.,  1995).  Penggunaan  varietas  resisten  penyakit merupakan  alternatif  yang  praktis  dan  ekonomis untuk  meningkatkan  daya  hasil  kacang  tanah. Upaya  untuk  mendapatkan  plasma  nutfah kacang tanah dapat dilakukan dengan meningkatkan variabilitas  genetik  tanaman  melalui  variasi somaklonal  dan  diikuti  dengan  seleksi  in  vitro (Karp, 1995 ; Matsumoto et al., 1995). 
Metode  kultur  jaringan  yang  efektif  untuk menginduksi  embrio  somatik  (ES)  serta  media selektif  untuk  menginduksi  kondisi  selektif merupakan  persyaratan  untuk  menghasilkan  variasi somaklonal.    Kultur  in  vitro  dan  seleksi  in  vitro pada  tingkat  sel  dan  jaringan  dengan  agens penyeleksi  diharapkan  dapat  diperoleh  karakter yang diinginkan (Jain, 2001). Seleksi in vitro dapat dilakukan  dengan  menggunakan  filtrat  kultur  Fusarium  sp  sebagai  agens  penyeleksi  untuk mengidentifikasi  sel  atau  jaringan  tanaman  kacang tanah yang tidak mati oleh filtrat kultur (Matsumoto et al., 1995). Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini bertujuan  untuk  mengevaluasi  ketahanan  galur kacang tanah hasil kultur in vitro terhadap penyakit layu Fusarium sp.  
Poros  embrio  diisolasi  dari  benih  kacang tanah  dan  digunakan  sebagai  sumber  eksplan. Bagian  leaflet  dari  poros  embrio  diisolasi  dan digunakan  sebagai  eksplan  untuk  menginduksi pembentukan  embrio  somatik.    Eksplan  tersebut ditanam  dalam  media  MS  yang  mengandung Pikloram.  Kalus  embriogenik  dan  embrio  somatik yang  didapat  selanjutnya  diisolasi  dan  ditanam kembali  dalam  media  induksi  yang  masih  segar selama  3-4  periode  sub-kultur.  Penanaman  kalus embriogenik  dan  embrio  somatik  selama  beberapa periode  sub-kultur  dilakukan  untuk  menginduksi variasi  somaklonal  diantara  populasi  embrio somatik.  
Cendawan   Fusarium  sp  diisolasi  dari pertanaman  kacang  tanah  di  lapangan  yang terinfeksi oleh cendawan Fusarium sp dan dibiakan pada  media  PDA.  Kultur  cendawan Fusarium  sp disiapkan dengan menanam 2 potongan agar (± 1 x 1 cm2) dari koloni Fusarium sp ke dalam media MS cair.  Kultur  fusarium  dibiarkan  tumbuh  pada  suhu kamar  selama  14  hari.  Kultur  fusarium  selanjutnya disteril  dengan  menggunakan  autoklaf  dan selanjutnya  ekstrak  filtrat  kultur  fusarium dipisahkan  dari  massa  meselium  dengan  proses penyaringan.  
Media  selektif  yang  mengandung  filtrat kultur  fusarium  (toksin  metabolit)  untuk  kegiatan seleksi in vitro  disiapkan dengan mencampur filtrat kultur  konsentrasi    30%  dengan  media  MS (Murashige  dan  Skoog,  1962),    yang  telah diperkaya dengan Pikloram.    Seleksi  in  vitro  dilakukan  dengan meletakkan  5  eksplan  kalus  embriogenik,  masing-masing dengan 8-10 ES/botol ditanam dalam media selektif  filtrat  kultur fusarium  dan  diinkubasikan dalam  ruangan  bersuhu  260C  dalam  kondisi  gelap. Total  eksplan  yang  dievaluasi    sebanyak  500  kalus embriogenik  atau  4000  ES.  Eksplan  disub-kultur dua  kali  ke  dalam  media  selektif  yang  masih  segar selama  periode  tiga  bulan.  Kalus  embriogenik  dan ES  yang  insensitif  diperbanyak  dalam  media  MS-P16  tanpa    filtrat  kultur.  Setelah  diperbanyak, sebagian  ES  yang  insensitif    filtrat  kultur dikecambahkan untuk membentuk planlet.   
Planlet  tanaman  yang  mampu  tumbuh diregenerasikan  menjadi  tanaman  R0.  Populasi tanaman  R0    ditanam  dalam  pot  plastik  berisi  9  kg campuran  tanah dan  pasir  dan  dipelihara  di  rumah kaca  hingga  panen.  Benih  R0:1  yang  dipanen  dari masing-masing  tanaman  R0  dalam  percobaan sebelumnya  ditanam  untuk  menghasilkan  tanaman R1. Tanaman R1 ditumbuhkan hingga panen.  
Untuk  mengetahui  secara  riil  tingkat ketahanan beberapa galur kacang tanah hasil seleksi in  vitro  perlu  dievaluasi  resistensi  galur  kacang tanah  terhadap  infeksi  cendawan    Fusarium  sp. Bahan  tanaman  yang  digunakan  dalam  percobaan ini  adalah  populasi  tanaman  generasi  R2  turunan dari  R1  hasil  seleksi in  vitro    pada  media  selektif filtrat  kultur  Fusarium.  Selain  itu,  diuji  juga populasi cv. Lokal Bima sebagai tanaman kontrol. Untuk  pengujian  di  rumah  kaca,  benih ditanam  dalam  pot  ukuran  9  kg    yang  berisi  media tanam.    Media  tanah  disterilkan    dengan  disiram larutan  formalin  (30%),  dibungkus  plastik  kedap udara, dan diinkubasikan selama 14 hari. Setelah 14 hari  inkubasi,  media  tanam  disiram  dengan  larutan pupuk  cair  dengan  dosis  3-5  g    pupuk  NPK  dalam 500  mL  air.    Setelah  berbagai  perlakuan  tersebut, pot  dengan  media  tanam  siap  untuk  ditanami dengan benih kacang tanah yang diuji. Biakan  murni Fusarium  sp  disubkultur dalam PDA.  Biakan murni Fusarium yang berumur 14  hari  disuspensikan  dalam  air  steril.  Kerapatan konidia  106 konidia  per  mL  suspensi.  Suspensi  ini siap digunakan sebagai inokulum.
Tanaman  dipelihara  dalam  rumah  kaca sampai panen. Tanaman yang telah berumur 14 hari setelah tanam diinokulasi dengan suspensi fusarium. Inokulasi  dilakukan  dengan  cara  pankal  batang dilukai  dengan  pisau  steril,  dan  kemudian  disiram dengan suspensi fusarium dengan kerapatan konidia 106 sebanyak  2  mL.  Tanaman  tetap  dijaga kelembabannya  sampai  umur  2  minggu  setelah inokulasi.  Tanaman juga dijaga dari serangan hama dengan  penyemprotan  insektisida  Confidor  (0.25ml/l) dan Kelthane (1 ml/l).   Pengamatan  dilakukan  pada    gejala serangan  (adanya  bercak  atau  lesio  yang  berwarna coklat  muda  pada  pangkal  batang),  jumlah  dan persen  tanaman  hidup,  dan  pertumbuhan  tanaman. Perhitungan  intensitas  penyakit  dilakukan berdasarkan  metode  yang  dikembangkan  oleh   Hemon & Rosario (1999).   
Evaluasi  lapang  ketahanan  populasi tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro terhadap infeksi fusarium juga telah dilakukan. Percobaan ini bertujuan  untuk  menguji  daya  hasil  beberapa  galur harapan  kacang  tanah  yang  resisten  terhadap Fusarium  sp.  Percobaan  ini  dilaksanakan  dengan menggunakan  Rancangan  Acak  Kelompok  dengan perlakuan  yaitu  galur  tanaman  kacang  tanah  hasil  seleksi  in  vitro.    Masing-masing galur  tanaman terdiri  atas  tiga  ulangan.  Parameter  yang  diamati  tinggi  tanaman,    jumlah  polong  berisi,    bobot polong  kering,  gejala  penyakit  fusarium,  dan persentase tanaman mati karena infeksi fusarium.     
Upaya  untuk  meningkatkan  ketahanan tanaman  kacang  tanah  terhadap  penyakit  layu fusarium dilakukan  dengan  induksi  variasi simaklonal  dan  diikuti  dengan  seleksi  in  vitro. Eksplan  kalus embriogenik  dan  embrio  somatik kacang  tanah    dari  cv.  Lokal  Bima  telah  diseleksi dalam  media selektif  yang  mengandung  filtrat kultur  fusarium  30%.  Hasil  penelitian  sebelumnya telah  diperoleh ES  yang  resisten  terhadap  media selektif  dan  telah  diregenerasikan  menjadi  planlet dan menghasilkan galur kacang tanah. Galur  kacang  tanah  generasi  R2  hasil seleksi  in  vitro  pada  media  selektif  yang mengandung  filtrat  kultur  fuarium  dievaluasi ketahanannya  pada  infeksi  cendawan Fusarium  sp. di  rumah  kaca. 
Ketahanan  galur  kacang  tanah terhadap  Fusarium  sp  dihitung  berdasarkan persentase  tanaman  layu  (mati)  setelah  diinokulasi dengan biakan murni fusarium.  Kacang tanah  dapat  diserang  pada  setiap  stadium pertumbuhan,  mulai  dari  benih,  kecambah  sampai tanaman  dewasa.  Serangan  pada  fase  kecambah menyebabkan  tanaman  rebah  kecambah  karena pada  pangkal  batang  terjadi  pembusukan.  Serangan pada tanaman dewasa menyebabkan lesio berwarna coklat  pada  batang,  daun  mulai  gugur,  terjadi pembusukan  pada  pangkal  batang,  satu  dua  cabang menjadi  layu,  dan  akhirnya  tanaman  mati.  Infeksi juga  terjadi  pada  ginofor  dan  pembusukan  pada polong  (Agrios  1988  ;  Backman  &  Brenneman 1997).
Hasil seleksi in vitro tidak berbeda dengan tanaman  standar  (tanaman  tanpa melalui  seleksi  in  vitro).  Sementara  jumlah  polong    per  tanaman  berbeda  antar  galur  dan  cenderung  lebih  banyak  dibanding  tanaman  standar.  Tanaman  kacang  tanah  hasil  seleksi  in  vitro  dalam  media  selektif  yang  mengandung filtrat kultur fusarium cenderung lebih  tahan  terhadap  serangan  fusarium  dibanding  tanaman  standar.  Namun  demikian  ada  beberapa  galur  yang  mendapat  serangan  dari  fusarium  sama  dengan  tanaman  standar  dan  rentan  pada  infeksi  fusarium.  Akibat  dari  serangan  fusarium,  tanaman  kacang  tanah  tidak  mampu  memberikan  hasil  yang maksimal,  dan  ada  kecenderungan  bahwa  tingkat serangan  yang  lebih  rendah  memberikan  berat polong  kering  yang  lebih  berat  dibandingkan tanaman yang mengalami serangan berat. Tanaman  tahan  mampu  untuk  melawan serangan  cendawan  melalui  mekanisme  pertahanan yang  sudah  dimiliki  oleh  tanaman  atau  diinduksi ketika  ada  patogen  yang  menyerang  tanaman (Hammond-Kosack  dan  Jones  1996). 
Walaupun tanaman  dari  seleksi  in  vitro  ada  yang  mati  karena infeksi Fusarium,  namun  umur  tanaman  dari  awal inokulasi  sampai  tanaman  mati  lebih  panjang dibanding  tanaman  seleksi  in  vitro  yang  lain  dan tanaman  standar.  Mekanisme  penundaan  umur  tanaman  mati  ada kaitannya dengan penghambatan infeksi atau invasi hifa  ke  sel  yang  lebih  dalam,  walaupun  akhirnya tanaman  akan  mati.  Menurut  Dixon  et  al.  (1994) mekanisme  resistensi  yang  penting  adalah  dengan membentuk hambatan infeksi.    Pada  pengamatan  di  lapangan  ternyata tingkat  serangan  patogen  yang  lebih  tinggi menyebabkan  jumlah  polong  dan  berat  kering polong  menjadi  rendah.  Tanaman  standar  serta galur  rentan  diduga  tidak  mempunyai  mekanisme untuk  melawan  infeksi  cendawan.   
Efektifitas patogenisitas  Fusarium  sangat  tergantung  dari sekresi asam fusarik pada jaringan tanaman (Godoy et al. 1990).   Dengan demikian tanaman yang tahan adalah  yang  mampu  untuk  mengubah  asam  fusarik menjadi  tidak  toksik  terhadap  tanaman  atau menahan  invasi  asam  fusarik  ke  sel  jaringan  yang lain.  Tanaman  yang  agak  tahan  terhadap  infeksi Fusarium  yang  dihasilkan  dari  seleksi  ES    diduga mampu  untuk  mendetoksifikasi  atau  menahan invasi asam fusarik ke jaringan sel yang lain.   

DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN (1997) Plant pathology. Academic Press, New York
Backman PA, Brenneman TB. 1997. Stem-rot. In :Burelle NK, Porter DM, Kabana RR, Smith DH, Subrahmanyam P, (Ed.). Compedium of peanut disease. American Phytopathological Society, St. Paul, MN.
Dixon RA, Harrison MJ, Lamb CJ. 1994. Early events in the activation of plant defence responses. Annu. Rev.Phytopathol. 32:479- 501.
Godoy G, Steadman JR, Dickman MB, Dam R.1990. Use of mutants to demonstrate the role of oxalic acid in pathogenicity of Sclerotinia sclerotiorum on Phaseolus.
Hammond-Kosack KE, Jones JDG. 1996. Resistance gene-dependent plant defence responses. Plant Cell 8:1773 - 1791.
Kadir, A. 2007. Induksi Variasi Somaklon melalui Iradiasi Sinar Gama dan Seleksi In Vitro untuk Mendapatkan Tanaman Nilam Toleran terhadap Cekaman Kekeringan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 173 hlm
Kumar, P.S. and V.L. Mathur. 2004. Chromosomal instability in callus culture of Pisum sativum. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 78: 267− 271.
Jain, S.M. 2001. Tissue culture-derived variation in crop improvement. Euphytica 118: 153 - 156.
Larkin & Scowcroft. 1981. Somaclonal Variation a  Novel Source of  Variability from Cell Cultures for Plant Improvement. Theor. Appl.Gen. 60: 197 – 214.
Okabe I, Morikawe C, Matsumoto N, Yokoyama K (1998). Variation in Sclerotium rolfsii isolates in Japan. Mycoscience 39: 399-407
Specht, J.E. and G.L. Greaf. 1996. Limitation and potential for genetic manipulation of soybeans. In D.P.S. Verma and R.C. Shoemaker (Eds.). Soybeans: Genetics, Molecular Biology and Biotechnology. CAB Intl., England
Skirvin, R.M., M. Norton, and K.D. Mc Pheeter.1993. Somaclonal variation: Has it proved useful for plant improvement. Acta Hort. 336: 333-340.

Thrope, T.A. 1990. The current status of plant tissue culture. p. 1−3. In S.S. Bhojwani (Ed.). Plant Tissue Culture: Application and Limitations. Elsevier Sci. Publ., Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo.
Timper P, Minton NA, Johnson AW, Brenneman TB, Culbrreat AK, Burton GW, Baker SH, Gascho GJ (2001) Influence of cropping system on stem rot (Sclerotium rolfsii), Meloydogyne arenaria, and the nematode antagonist Pasteuria penetrans in peanut. Plant Disease. 85: 767-772.
Yunita, Rossa.2009. Pemanfaatan Variasi  Somaklonal dan Seleksi In Vitro  dalam Perakitan Tanaman Toleran Cekaman Biotik. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (4): 1-7
Wattimena, G.A. dan N.A. Mattjik. 1992. Pemuliaan tanaman secara in vitro. Dalam Tim Laboratorium Kultur Jaringan (Ed.). Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

                                                                                            



Tidak ada komentar:

Posting Komentar