BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan komoditas pertanian akan terus
bertambah, sebagaimana permintaan pasar dan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Upaya
peningkatan produksi pangan telah dilakukan dengan perluasan lahan, serta
penggunaan varietas yang unggul yang mana diharapkan dapat menghasilkan produk
yang dari segi kuantitas baik serta dari segi kualitas juga baik. Dalam hal ini
bioterknologi pertanian sangat berperan dalam penciptaan varietas yang unggul
dan tahan terhadap cekaman lingkungan.
Pada saat ini sangat sulit mencari
sumber gen ketahanan terhadap cekaman
abiotik dari tanaman yang sejenis. Untuk meningkatkan keragaman
genetik pada
tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dapat memanfaatkan teknik
variasi somaklonal dan induksi mutasi.
Perubahan sifat genetik yang dihasilkan dengan
metode ini sangat beragam. Untuk mengarahkan perubahan sifat ke
arah yang
diinginkan dapat digunakan metode seleksi in vitro
(Yunita, 2009).
Salah satu
contoh produk bioteknologi yang bermanfaat dalam pengadaan varietas tahan
cekaman adalah kultur in vitro, dimana setelah adanya kultur in vitro akan
menciptakan keragaman somaklonal atau biasa dikenal dengan variasi somaklonal.
Variasi somaklonal ini pertama kali diperkenalkan oleh oleh Larkin dan Scowcorf (1989),
yang mendefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan
melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun
sel gamet. Dari keragaman ini akan diadakan seleksi in vitro, dimana akan
dihasilkan tanaman yang diharapkan benar-benar tahan atau resisten terhadap
bakteri tertentu atau lingkungan yang buruk sekalipun.
1.2. Manfaat
1. Mengetahui
definisi kultur jaringan dan segala hal yang berhubungan dengan kultur jaringan
2. Mengetahui
definisi dari variasi somaklonal dan proses terjadinya variasi somaklonal pada
kacang tanah
3. Mengetahui
tahapan seleksi in vitro pada kacang tanah
4. Mengetahui Sclerotium
Rolfsii dan layu Fusarium pada
kacang tanah
1.3. Tujuan
1. Dapat
menjelaskan teknik kultur in vitro, khususnya pada tanaman kacang tanah
2. Dapat
menjelaskan proses terjadinya variasi somaklonal pada kacang tanah
3. Dapat
menjelaskan tahapan seleksi in vitro pada kacang tanah
4. Dapat
mengidentifikasi dua gangguan pada kacang tanah yaitu Sclerotium Rolfsii dan layu Fusarium
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi Kultur Jaringan
Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam
bahasa asing disebut sebagai tissue culture weefsel callus atau geweb culture.
Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk
dan fungsi yang sama. Maka kultur jaringan dapat diartikan sebagai
pembudidayaan suatu tanaman dengan
menggunakan jaringan tanaman tersebut yang mana akan memiliki sifat seperti
induknya.
Kultur
akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah
jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah,
dindingnya tipis, belum memiliki penebalan dari zat pectin. Kebanyakan orang
menggunakan jenis jaringan ini, karena masih aktif membelah, sehingga
diperkirakan memiliki hormone yang mengatur pembelahan.
Pelaksanaan
teknik kultur jaringan ini berdasarkan teori sel seperti yang dikemukakan oleh
Schleiden dan Schwann, yaitu sel memiliki kemampuan autonom, bahkan memiliki
kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, bila diletakkan
dalam media atau lingkungan yang sesuai
akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Suryowinoto, 1991).
Teknik
kultur jaringa akan berhasil dengan baik bila syarat-syarat yang diperlukan
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai , bahan
dasar untuk pembentukan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang
aseptic dan pengaturan udara yang baik terutama untuk media cair.
2.2 Variasi
Somaklonal
Variasi somaklonal pertama kali dikemukakan oleh Larkin dan
Scowcroft (1981) dalam Kadir (2007), yang didefinisikan sebagai
keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel, baik sel
somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun sel gamet. Skirvin et al.
(1993) mendefinisikan variasi somaklonal sebagai keragaman genetik tanaman
yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Variasi tersebut dapat berasal dari
keragaman genetik eksplan yang digunakan atau yang terjadi dalam kultur
jaringan. Variasi somaklonal yang terjadi dalam kultur jaringan merupakan hasil kumulatif dari mutasi
genetik pada eksplan dan yang diinduksi pada kondisi in vitro. Tidak
seperti yang biasa terjadi pada persilangan, dimana keragaman timbul karena
segregasi ataupun rekombinasi gen, pada variasi somaklonal keragaman terjadi
akibat adanya penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah
kromosom (tagging dan nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan
gen, dan perubahan sitoplasma ( Kumar dan Mathur, 2004).
Tabel 1. Beberapa perubahan sifat pada tanaman hasil variasi
somaklonal.
Tanaman
|
Perubahan sifat
|
Sumber
|
Anggur
|
Menjadi tanaman tetraploid
|
Kuskova et al. (1997)
|
Bawang
|
Peningkatan
ploidi
|
Do et al. (1999)
|
Mawar
|
Perubahan kelopak dan warna bunga
|
Handayani et al. (2002)
|
Kedelai
|
Toleran
lahan masam
|
Mariska et al. (2004)
|
Padi
|
Toleran kekeringan
|
Lestari et al. (2005)
|
Pisang
|
Tahan
penyakit fusarium
|
Mariska et al. (2006)
|
Nilam
|
Toleran kekeringan
|
Kadir (2007)
|
(Yunita, 2009)
Variasi
somaklonal merupakan perubahan genetic yang bukan disebabkan oleh segregasi
atau rekombinasi gen, seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan.
Thrope (1990) menggunakan istilah pre-existing cellular genetic, yaitu
keragaman yang diinduksi oleh kultur jaringan. Keragaman ini dapat muncul
akibat penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah
kromosom (tagging dan nondisjunction), perubahan struktur
kromosom, perubahan gen, dan perubahan sitoplasma (Kumar dan Mathur 2004).
Variasi
somaklonal dapat dikelompokkan menjadi keragaman yang diwariskan (heritable),
yaitu yang dikendalikan secara genetik, dan keragaman yang tidak diwariskan,
yakni yang dikendalikan secara epigenetik. Keragaman somaklonal yang
dikendalikan secara genetik biasanya bersifat stabil dan dapat diturunkan
secara seksual ke generasi selanjutnya. Keragaman epigenetik biasanya akan
hilang bila diturunkan secara seksual (Skirvin et al. 1993).
Dengan demikian,
variasi somaklonal sangat memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa sifat
yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah
dimiliki oleh tanaman induk. Dalam perbanyakan secara in vitro, yang terjadi
adalah mutasi somatik. Sel yang bermutasi saat membelah akan membentuk
sekumpulan sel yang berbeda dengan sel asalnya. Tanaman yang berasal dari
sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru
yang berbeda dengan induknya.
2.3 Seleksi
In Vitro
Keragaman genetik yang ditimbulkan
oleh variasi somaklonal dan induksi mutasi bersifat acak. Untuk
mengidentifikasi keragaman somaklonal maupun induksi mutasi ke arah perubahan
yang diinginkan, dapat digunakan teknik seleksi in vitro. Pada teknik in
vitro, seleksi ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan,
keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas dapat digabungkan dalam media
kultur in vitro dan digunakan untuk menumbuhkan varian somaklon yang
diperoleh. Tanaman hasil regenerasi jaringan pada kultur in vitro kemungkinan
akan mempunyai fenotipe yang toleran terhadap kondisi seleksi.
Seleksi in vitro lebih efisien
karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen, tempat yang dibutuhkan relatif
sedikit, dan efektivitas seleksi tinggi. Oleh karena itu, kombinasi antara
induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro merupakan alternatif
teknologi yang efektif dalam menghasilkan individu dengan karakter yang
spesifik (Kadir 2007). Penggunaan teknik in vitro akan menghasilkan
populasi sel varian melalui seleksi pada media yang sesuai. Intensitas seleksi
dapat diperkuat dan dibuat lebih homogen. Populasi jaringan atau sel tanaman
dapat diseleksi dalam media seleksi sehingga akan meningkatkan frekuensi varian
dengan sifat yang diinginkan (Specht dan Greaf 1996; Biswas et al.
2002).
2.4 Kacang
Tanah (Arachys hypogaea L. Merr.)
Kacang
tanah (Arachys hypogaea L. Merr.)
umumnya ditanam petani di lahan kering/tegalan dan tadah hujan serta lahan bukaan
baru pada musim hujan maupun di awal musim kemarau (70%) dan selebihnya (30%) ditanam
di lahan sawah beririgasi pada musim kemarau setelah padi. Pengolahan hasil
kacang tanah akan memberikan nilai tambah secara ekonomi. Kacang tanah
dimanfaatkan untuk bahan pangan, industri, dan pakan.
Kacang
tanah mengandung lemak 45% dan protein
27%. Hampir sebagian besar produksi kacang tanah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industri pengolahan, seperti bumbu , biskuit, kacang asin,
minyak nabati, saus, selai, susu, dan pakan ternak. Beberapa industri yang
menggunakan bahan baku kacang tanah dapat dikategorikan sebagai industry pangan
dan industri pakan.
2.5 Sclerotium Rolfsii
dan Layu Cendawan Fusarium sp
Sclerotium
rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat
menyebabkan beberapa penyakit mematikan pada tanaman seperti busuk batang, layu
dan rebah kecambah. Jamur ini merupakan jamur tular tanah yang dapat bertahan
lama dalam bentuk sklerotia di dalam tanah, pupuk kandang, dan sisa-sisa
tanaman sakit. Di samping itu, jamur tersebut dapat menyebar melalui air
irigasi dan benih pada lahan yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman
inang dari Sclerotium rolfsii tersebut, sehingga mengakibatkan
turunnya produksi tanaman yang akan dipanen (Timper et al. 2001).
Selain
menyerang tanaman kacang tanah, S. rolfsii dapat juga menyerang tanaman
lain seperti kentang, tomat, kedelai, kubis-kubisan, bawang, seledri, jagung
manis, selada, kapas, tembakau, dan tanaman dari famili Cucurbitaceae (Agrios
1997). Perbedaan karakteristik jamur Sclerotium rolfsii pada beberapa
tanaman inang meliputi diameter koloni, kecepatan pertumbuhan miselia, ukuran
dan warna sklerotia (Okabe et al. 1998; Sarma et al. 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati karakteristik dan bentuk perkecambahan
dari jamur Sclerotium rolfsii pada tanaman inang kacang tanah.
Gambar
1. Bagian daun kacang tanah yang terkena Sclerotium
Rolfsii
Gambar
2. Bagian batang yang terinfeksi Sclerotium Rolfsii
Gambar
3. Bagian buah kacang tanah yang terinfeksi Sclerotium
Rolfsii
Salah satu penyakit serius pada kacang tanah
adalah penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium sp. Serangan cendawan
fusarium dapat meyebabkan pengurangan hasil sampai mencapai 70% (Hartman et
al., 1995). Cendawan ini merupakan cendawan tertular tanah (soil borne)
dan mampu bertahan hidup cukup lama di dalam tanah dan berkolonisasi. Usaha
tani kacang tanah yang biasa dilakukan di lahan kering menyebabkan sulitnya
diterapkan sistem pengairan, sehingga inokulum cendawan sulit dihilangkan pada
usaha tani lahan kering, sehingga inokulum selalu berada sepanjang musim tanam.
Serangan patogen ini dapat menyebabkan penurunan produksi dan gagal panen.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Varian Somaklonal Kacang Tanah Resisten
Sclerotium Rolfsii Hasil Seleksi In
Vitro Menggunakan Filtrat Kultur Cendawan
Kemungkinan untuk menginduksi variasi
somaklonal di antara tanaman yang diregenerasikan secara kultur sel dan jaringan menimbulkan minat yang cukup
tinggi sebagai salah satu cara untuk menciptakan keragaman. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa teknik
tersebut telah berhasil digunakan untuk mendapatkan plasma nutfah yang toleran atau resisten terhadap penyakit
tertentu (Daub, 1986; Hammerschlag, 1992).
Busuk batang Sclerotium merupakan salah
satu penyakit pada tanaman kacang tanah, yang seringkali menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi.
Penyakit ini yang menyebabkan kebusukan pada pangkal batang kacang tanah dan
seringkali menyebabkan kematian atau
kerusakan yang parah. Cendawan patogen penyakit ini mempunyai inang yang
beragam dan dapat membentuk sklerosia yang mampu bertahan hidup di dalam tanah
dalam waktu lama (Punja et al, 1985). Untuk itu dilakukan upaya untuk
mendapatkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran atau resisten terhadap
busuk batang Sclerotium melalui induksi keragaman somaklonal dan seleksi in
vitro menggunakan filtrate kultur S.
Rolfsii.
Dalam penelitian ini, kalus embriogenik
yang telah dipelihara selama kurang lebih satu tahun dalam media regenerasi
dikulturkan dalam medium MS (Murashige & Skoog, 1962) dengan penambahan 30%
filtrate kultur S. rolfsii, dan ES yang terbentuk setelah tiga periode seleksi
in vitro masing-masing selama satu
bulan, dianggap sebagai insensitive terhadap filtrate kultur cendawan.
Sejumlah galur kacang tanah R0 telah
diregerasikan dari embrio somatic yang insensitive terhadap filtrate kultur
cendawan, dan zuriat R1 dan R2 telah ditanam dirumah plastic dan dievaluasi
untuk berbagai karakter kualitatif dan kuantitatifnya. Evaluasi untuk
resistensi terhadap infeksi S. rolfsii juga dilakukan secara dini pada
galur-galur somaklon generasi R0, yang mengindikasikan ketahanannya bila
dibandingkan dengan populasi kacang tanah awal.
Dari hasil seleksi in vitro
1500 clump kalus embriogenikl menggunakan 30% filtrate kultur cendawan, telah
didapatkan sebanyak kurang lebih 1-2 ES insensitive filtrate kultur cendawan
pada sekitar 300 clump. Untuk pemulihan dan proliferasinya, ES hasil seleksi in
vitro ditransfer ke media MS dengan
penambahan pikloram 16 1M (P16). Selanjutnya, maturasi dan pengecambahan ES
dilakukan dengan mentransfer ke media MS dengan penambahan arang aktif 2 g I-1 (MSAC) selama dua periode pengkulturan,
masing-masing satu bulan. Untuk merangsang pertumbuhan epikotil dan pemanjangan
tunas, ES yang berkecambah dipotong akarnya dan ditanam kurang lebih 2 minggu
dalam medium MS dengan penambahan kombinasi BAP 2 mg I-1 dan kinetin
2 mg I-1 .
Untuk mendapatkan planlet,
tunas ditanam kembali dalam media MSAC hingga berakar. Aklimatisasi planlet
dilakukan secara bertahap dengan menanamnya di pot plastic berisi campuran
pasir dan arang sekam steril (1:1, v/v) yang disungkup dengan kantong plastic, hingga mampu bertahan hidup di rumah
plastic. Tanaman R0 yang mampu bertahan hidup dari tahapan aklimatisasi
selanjutnya ditanam dalam polybag dengan ukuran 45 cm x 45 cm yang berisi 10 kg
campuran tanah:pasir:kompos (1:1:1,
v/v) dan dipelihara dalam rumah plastic. Penyiraman, pemupukan, dan
pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan hingga tanaman dapat
dipanen. Benih R0:1 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomor tanaman R0
dan dikeringkan.
Tanaman R1 ditumbuhkan dari
benih R0:1 zuriat dari 25 tanaman R0 yang masing-masing diregenerasikan dari ES
hasil seleksi in vitro. Dari setiap nomor tanaman R0 ditanam 1 hingga 20
tanaman R1 zuriatnya, bergantung dari jumlah polong bernas yang dihasilkan
sebelumnya. Penanaman benih R0:1 dirumah plastic dan pemeliharaanya dilakukan
di polybag sebagaimana dijelaskan sebelumnya untuk tanaman R0. Tanaman R1 dipelihara
hingga panen, dan benih R1:2 yang
dihasilkan dipanen secara terpisah dari masing-masing nomor tanaman R1,
kemudian dikeringkan dan pada musim berikutnya ditanam di rumah plastic
sebagaimana tanaman R1.
Tanaman R2 ditumbuhkan dari
benih R1:2, zuriat dari masing-masing nomor tanaman R1 terpilih. Dari setiap
tanaman R1 dipilih satu nomor yang menghasilkan polong bernas paling banyak,
dan dari masing-masing nomor R1 tersebut ditanam minimal 10 tanaman R2. Tanaman
R2 ditumbuhkan di rumah plastic dengan cara dan pemeliharaan sebagaimana
dijelaskan pada tanaman R0 dan R1. Tanaman R2 dipelihara hingga panen, benih
R2:3 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomor tanaman R2, lalu
dikeringkan.
Tanaman kacang tanah cv.
Kelinci (tanaman awal) yang tidak melalui tahapam seleksi in vitro ditumbuhkan
dari benih di rumah plastic menggunakan polybag dengan media tumbuh dan cara
pemeliharaan yang sama dengan sebelumnya. Tanaman awal tersebut digunakan
sebagai pembanding untuk tanaman R0. Sebagai pembanding untuk tanaman R1 dan
R2, ditanam zuriat pertama dan kedua tanaman awal dengan cara pemeliharaan dan
dalam lingkup yang sama.
Cendawan S. rolfsii yang
virulensinya telah diuji, diisolasi dari tanaman kacang tanah terinfeksi
Sclerotium. Cendawan diperbanyak dalam media potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasi dalam ruang bersuhu 260
C selama 6-7 hari, sehingga mempunyai koloni hifa yang tebal tetapi belum
membentuk sklerosia. Hifa dari kultur cendawan dalam media PDA padat seluas 1
cm2 digunakan sebagai inoculum untuk menginokulasi tanaman kacng
tanah generasi R1 dan R2. Tanaman somaklon
R1 dan R2 dan tanaman kacang tanah cv. Kelinci awal sebagai control
diinokulasi pada umur 4 minggu setelah tanam.
Dari pengamatan karakter
kuantitatif setelah inokulasi S. rolfsii,
semua tanaman somaklon yang diinokulasi menunjukkan gejala penyakit dengan
tingkat keparahan yang berbeda antara skor 1 sampai 5, sedangkan semua tanaman
awal yang diinokulasi mati (skor 5). Baik tanaman awal maupun somaklon yang
tidak diinokulasi tidak menunjukkan gejala penyakit (skor 0). Secara umum
gejala mulai muncul pada pangkal batang yang diinokulasi 5-8 hari setelah
inokulasi.
3.2
Ketahanan Beberapa Galur Kacang Tanah Hasil Kultur In Vitro Terhadap Penyakit Layu Cendawan
Fusarium sp
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui
ketahanan beberapa galur
kacang tanah hasil
kultur in vitro terhadap penyakit
layu Fusarium sp. Seleksi in vitro
diawali dengan menginduksi embrio somatik (ES) dan variasi
somaklonal kacang tanah
cv. Lokal Bima.
Seleksi in vitro
untuk ketahanan terhadap penyakit layu fusarium dilakukan pada
populasi ES dengan media selektif yang
mengandung filtrat kultur Fusarium sp.
Setelah dilakukan seleksi
in vitro, diperoleh
populasi ES yang insensitif terhadap media
filtrat kultur.
Embrio
somatik insensitif ini
dikecambahkan dan menghasilkan
planlet. Planlet-planlet ini
ditanam untuk memproduksi tanaman
generasi R1 dan
R2. Tanaman generasi
R2 inilah yang
akan dievaluasi ketahanannya terhadap penyakit layu cendawan
Fusarium sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kultur in vitro telah mampu meningkatkan ketahanan tanaman kacang tanah
cv Lokal Bima dari rentan menjadi agak resisten terhadap penyakit layu cendawan
Fusarium sp. Galur GFK 10 menunjukkan agak resisten terhadap infeksi cendawan
Fusarium sp dan menghasilkan jumlah polong kering terbanyak 13.5 polong per
tanaman dan polong kering terberat 786.5
g/1.1 m2.
Salah
satu penyakit serius
pada kacang tanah adalah
penyakit layu yang
disebabkan oleh Fusarium sp.
Serangan cendawan fusarium
dapat meyebabkan pengurangan hasil
sampai mencapai 70% (Hartman
et al., 1995).
Penggunaan varietas resisten
penyakit merupakan
alternatif yang praktis
dan ekonomis untuk meningkatkan
daya hasil kacang
tanah. Upaya untuk mendapatkan
plasma nutfah kacang tanah dapat
dilakukan dengan meningkatkan variabilitas
genetik tanaman melalui
variasi somaklonal dan diikuti
dengan seleksi in vitro
(Karp, 1995 ; Matsumoto et al., 1995).
Metode
kultur jaringan yang
efektif untuk menginduksi embrio
somatik (ES) serta
media selektif untuk menginduksi
kondisi selektif merupakan persyaratan
untuk menghasilkan variasi somaklonal. Kultur
in vitro dan
seleksi in vitro pada
tingkat sel dan
jaringan dengan agens penyeleksi diharapkan
dapat diperoleh karakter yang diinginkan (Jain, 2001).
Seleksi in vitro dapat dilakukan
dengan menggunakan filtrat
kultur Fusarium sp
sebagai agens penyeleksi
untuk mengidentifikasi sel atau
jaringan tanaman kacang tanah yang tidak mati oleh filtrat
kultur (Matsumoto et al., 1995). Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian
ini bertujuan untuk mengevaluasi
ketahanan galur kacang tanah
hasil kultur in vitro terhadap penyakit layu Fusarium sp.
Poros
embrio diisolasi dari
benih kacang tanah dan
digunakan sebagai sumber
eksplan. Bagian leaflet dari
poros embrio diisolasi
dan digunakan sebagai eksplan
untuk menginduksi
pembentukan embrio somatik.
Eksplan tersebut ditanam dalam
media MS yang
mengandung Pikloram. Kalus embriogenik
dan embrio somatik yang
didapat selanjutnya diisolasi
dan ditanam kembali dalam
media induksi yang
masih segar selama 3-4
periode sub-kultur. Penanaman
kalus embriogenik dan embrio
somatik selama beberapa periode sub-kultur
dilakukan untuk menginduksi variasi somaklonal
diantara populasi embrio somatik.
Cendawan Fusarium
sp diisolasi dari pertanaman kacang
tanah di lapangan
yang terinfeksi oleh cendawan Fusarium sp dan dibiakan pada media
PDA. Kultur cendawan Fusarium sp disiapkan dengan menanam 2 potongan agar
(± 1 x 1 cm2) dari koloni Fusarium sp ke dalam media MS cair. Kultur
fusarium dibiarkan tumbuh
pada suhu kamar selama
14 hari. Kultur
fusarium selanjutnya
disteril dengan menggunakan
autoklaf dan selanjutnya ekstrak
filtrat kultur fusarium dipisahkan dari
massa meselium dengan
proses penyaringan.
Media
selektif yang mengandung
filtrat kultur fusarium (toksin
metabolit) untuk kegiatan seleksi in vitro disiapkan dengan mencampur filtrat
kultur konsentrasi 30%
dengan media MS (Murashige
dan Skoog, 1962),
yang telah diperkaya dengan
Pikloram. Seleksi in
vitro dilakukan dengan meletakkan 5
eksplan kalus embriogenik,
masing-masing dengan 8-10 ES/botol ditanam dalam media selektif filtrat
kultur fusarium dan diinkubasikan dalam ruangan
bersuhu 260C dalam
kondisi gelap. Total eksplan
yang dievaluasi sebanyak
500 kalus embriogenik atau
4000 ES. Eksplan
disub-kultur dua kali ke
dalam media selektif
yang masih segar selama
periode tiga bulan.
Kalus embriogenik dan ES
yang insensitif diperbanyak
dalam media MS-P16
tanpa filtrat kultur.
Setelah diperbanyak,
sebagian ES yang
insensitif filtrat kultur dikecambahkan untuk membentuk planlet.
Planlet
tanaman yang mampu
tumbuh diregenerasikan menjadi tanaman R0.
Populasi tanaman R0 ditanam
dalam pot plastik
berisi 9 kg campuran
tanah dan pasir dan
dipelihara di rumah kaca
hingga panen. Benih
R0:1 yang dipanen
dari masing-masing tanaman R0
dalam percobaan sebelumnya ditanam
untuk menghasilkan tanaman R1. Tanaman R1 ditumbuhkan hingga
panen.
Untuk
mengetahui secara riil
tingkat ketahanan beberapa galur kacang tanah hasil seleksi in vitro
perlu dievaluasi resistensi
galur kacang tanah terhadap
infeksi cendawan Fusarium
sp. Bahan tanaman yang
digunakan dalam percobaan ini
adalah populasi tanaman
generasi R2 turunan dari
R1 hasil seleksi in
vitro pada media
selektif filtrat kultur Fusarium.
Selain itu, diuji
juga populasi cv. Lokal Bima sebagai tanaman kontrol. Untuk pengujian
di rumah kaca,
benih ditanam dalam pot
ukuran 9 kg
yang berisi media tanam. Media
tanah disterilkan dengan
disiram larutan formalin (30%),
dibungkus plastik kedap udara, dan diinkubasikan selama 14
hari. Setelah 14 hari inkubasi, media
tanam disiram dengan
larutan pupuk cair dengan
dosis 3-5 g
pupuk NPK dalam 500
mL air. Setelah
berbagai perlakuan tersebut, pot
dengan media tanam
siap untuk ditanami dengan benih kacang tanah yang
diuji. Biakan murni Fusarium sp
disubkultur dalam PDA. Biakan
murni Fusarium yang berumur 14 hari disuspensikan
dalam air steril.
Kerapatan konidia 106
konidia per mL
suspensi. Suspensi ini siap digunakan sebagai inokulum.
Tanaman
dipelihara dalam rumah
kaca sampai panen. Tanaman yang telah berumur 14 hari setelah tanam
diinokulasi dengan suspensi fusarium. Inokulasi
dilakukan dengan cara
pankal batang dilukai dengan
pisau steril, dan
kemudian disiram dengan suspensi
fusarium dengan kerapatan konidia 106 sebanyak 2
mL. Tanaman tetap
dijaga kelembabannya sampai umur
2 minggu setelah inokulasi. Tanaman juga dijaga dari serangan hama
dengan penyemprotan insektisida
Confidor (0.25ml/l) dan Kelthane
(1 ml/l). Pengamatan dilakukan
pada gejala serangan (adanya
bercak atau lesio
yang berwarna coklat muda
pada pangkal batang),
jumlah dan persen tanaman
hidup, dan pertumbuhan
tanaman. Perhitungan
intensitas penyakit dilakukan berdasarkan metode
yang dikembangkan oleh
Hemon & Rosario (1999).
Evaluasi
lapang ketahanan populasi tanaman kacang tanah hasil seleksi
in vitro terhadap infeksi fusarium juga telah dilakukan. Percobaan ini
bertujuan untuk menguji
daya hasil beberapa
galur harapan kacang tanah
yang resisten terhadap Fusarium sp.
Percobaan ini dilaksanakan
dengan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan perlakuan yaitu
galur tanaman kacang
tanah hasil seleksi
in vitro. Masing-masing galur tanaman terdiri atas
tiga ulangan. Parameter
yang diamati tinggi
tanaman, jumlah polong
berisi, bobot polong kering,
gejala penyakit fusarium,
dan persentase tanaman mati karena infeksi fusarium.
Upaya
untuk meningkatkan ketahanan tanaman kacang
tanah terhadap penyakit
layu fusarium dilakukan
dengan induksi variasi simaklonal dan
diikuti dengan seleksi
in vitro. Eksplan kalus embriogenik dan
embrio somatik kacang tanah
dari cv. Lokal
Bima telah diseleksi dalam media selektif yang
mengandung filtrat kultur fusarium
30%. Hasil penelitian
sebelumnya telah diperoleh
ES yang
resisten terhadap media selektif dan
telah diregenerasikan menjadi
planlet dan menghasilkan galur kacang tanah. Galur kacang
tanah generasi R2
hasil seleksi in vitro
pada media selektif
yang mengandung filtrat kultur
fuarium dievaluasi ketahanannya pada
infeksi cendawan Fusarium sp. di
rumah kaca.
Ketahanan galur
kacang tanah terhadap Fusarium
sp dihitung berdasarkan persentase tanaman
layu (mati) setelah
diinokulasi dengan biakan murni fusarium. Kacang tanah
dapat diserang pada
setiap stadium pertumbuhan, mulai
dari benih, kecambah
sampai tanaman dewasa. Serangan
pada fase kecambah menyebabkan tanaman
rebah kecambah karena pada
pangkal batang terjadi
pembusukan. Serangan pada tanaman
dewasa menyebabkan lesio berwarna coklat
pada batang, daun
mulai gugur, terjadi pembusukan pada
pangkal batang, satu
dua cabang menjadi layu,
dan akhirnya tanaman
mati. Infeksi juga terjadi
pada ginofor dan
pembusukan pada polong (Agrios
1988 ; Backman
& Brenneman 1997).
Hasil seleksi in vitro tidak berbeda
dengan tanaman standar (tanaman
tanpa melalui seleksi in
vitro). Sementara jumlah
polong per tanaman
berbeda antar galur
dan cenderung lebih
banyak dibanding tanaman
standar. Tanaman kacang
tanah hasil seleksi
in vitro dalam
media selektif yang
mengandung filtrat kultur fusarium cenderung lebih tahan
terhadap serangan fusarium
dibanding tanaman standar.
Namun demikian ada
beberapa galur yang
mendapat serangan dari
fusarium sama dengan
tanaman standar dan
rentan pada infeksi
fusarium. Akibat dari
serangan fusarium, tanaman
kacang tanah tidak
mampu memberikan hasil
yang maksimal, dan ada
kecenderungan bahwa tingkat serangan yang
lebih rendah memberikan
berat polong kering yang
lebih berat dibandingkan tanaman yang mengalami serangan
berat. Tanaman tahan mampu
untuk melawan serangan cendawan
melalui mekanisme pertahanan yang sudah
dimiliki oleh tanaman
atau diinduksi ketika ada
patogen yang menyerang
tanaman (Hammond-Kosack dan Jones
1996).
Walaupun tanaman dari
seleksi in vitro
ada yang mati
karena infeksi Fusarium,
namun umur tanaman
dari awal inokulasi sampai
tanaman mati lebih
panjang dibanding tanaman seleksi
in vitro yang
lain dan tanaman standar. Mekanisme
penundaan umur tanaman
mati ada kaitannya dengan penghambatan
infeksi atau invasi hifa ke sel
yang lebih dalam,
walaupun akhirnya tanaman akan
mati. Menurut Dixon
et al. (1994) mekanisme resistensi
yang penting adalah
dengan membentuk hambatan infeksi.
Pada pengamatan di
lapangan ternyata tingkat serangan
patogen yang lebih
tinggi menyebabkan jumlah polong
dan berat kering polong
menjadi rendah. Tanaman
standar serta galur rentan
diduga tidak mempunyai
mekanisme untuk melawan infeksi
cendawan.
Efektifitas patogenisitas Fusarium
sangat tergantung dari sekresi asam fusarik pada jaringan
tanaman (Godoy et al. 1990). Dengan demikian
tanaman yang tahan adalah yang mampu
untuk mengubah asam
fusarik menjadi tidak toksik
terhadap tanaman atau menahan
invasi asam fusarik
ke sel jaringan
yang lain. Tanaman yang
agak tahan terhadap
infeksi Fusarium yang dihasilkan
dari seleksi ES
diduga mampu untuk mendetoksifikasi atau
menahan invasi asam fusarik ke jaringan sel yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Agrios
GN (1997) Plant pathology. Academic Press, New York
Backman
PA, Brenneman TB. 1997. Stem-rot. In :Burelle NK, Porter DM, Kabana RR, Smith
DH, Subrahmanyam P, (Ed.). Compedium of peanut disease. American
Phytopathological Society, St. Paul, MN.
Dixon
RA, Harrison MJ, Lamb CJ. 1994. Early events in the activation of plant defence
responses. Annu. Rev.Phytopathol. 32:479- 501.
Godoy
G, Steadman JR, Dickman MB, Dam R.1990. Use of mutants to demonstrate the role
of oxalic acid in pathogenicity of Sclerotinia sclerotiorum on Phaseolus.
Hammond-Kosack
KE, Jones JDG. 1996. Resistance gene-dependent plant defence responses. Plant
Cell 8:1773 - 1791.
Kadir, A. 2007. Induksi Variasi Somaklon melalui Iradiasi Sinar
Gama dan Seleksi In Vitro untuk Mendapatkan Tanaman Nilam Toleran
terhadap Cekaman Kekeringan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 173 hlm
Kumar, P.S. and V.L. Mathur. 2004. Chromosomal instability in
callus culture of Pisum sativum. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 78:
267− 271.
Jain, S.M. 2001. Tissue culture-derived variation in crop
improvement. Euphytica 118: 153 - 156.
Larkin & Scowcroft. 1981. Somaclonal Variation a Novel Source of Variability from Cell Cultures for Plant
Improvement. Theor. Appl.Gen. 60: 197 – 214.
Okabe
I, Morikawe C, Matsumoto N, Yokoyama K (1998). Variation in Sclerotium
rolfsii isolates in Japan. Mycoscience 39: 399-407
Specht, J.E. and G.L. Greaf. 1996. Limitation and potential for
genetic manipulation of soybeans. In D.P.S. Verma and R.C. Shoemaker
(Eds.). Soybeans: Genetics, Molecular Biology and Biotechnology. CAB Intl.,
England
Skirvin, R.M., M. Norton, and K.D. Mc Pheeter.1993. Somaclonal
variation: Has it proved useful for plant improvement. Acta Hort. 336: 333-340.
Thrope, T.A. 1990. The current status of plant tissue culture.
p. 1−3. In S.S. Bhojwani (Ed.). Plant Tissue Culture: Application and
Limitations. Elsevier Sci. Publ., Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo.
Timper
P, Minton NA, Johnson AW, Brenneman TB, Culbrreat AK, Burton GW, Baker SH,
Gascho GJ (2001) Influence of cropping system on stem rot (Sclerotium
rolfsii), Meloydogyne arenaria, and the nematode antagonist Pasteuria
penetrans in peanut. Plant Disease. 85: 767-772.
Yunita, Rossa.2009. Pemanfaatan
Variasi Somaklonal dan Seleksi In
Vitro dalam Perakitan Tanaman
Toleran Cekaman Biotik. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (4): 1-7
Wattimena, G.A. dan N.A. Mattjik. 1992. Pemuliaan tanaman secara
in vitro. Dalam Tim Laboratorium Kultur Jaringan (Ed.).
Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar